Sabtu, 24 Desember 2016

Sejarah Kesenian Rampak Bedug Pandeglang

Kesenian rakyat merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kesenian tiap daerah memiliki identitas daerah tersebut. Adapun kesenian akan tumbuh dan berkembang  di masyarakat  dengan upaya memelihara dan mengembangkan dari masyarakat itu sendiri. Hal ini senada dengan pernyataan Kayam (1981:38-39) mengatakan sebagai berikut. 
“Kesenian tidak akan pernah lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang, untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru”.  
Kesenian Rampak Bedug merupakan kesenian yang berkembang secara turun temurun, khususnya di Kabupaten Pandeglang.  Tari rakyat yang termasuk pada kesenian tradisional suatu daerah pada umumnya belum banyak diketahui  secara pasti penciptanya. Oleh karena itu, keberadaan kesenian tradisional disampaikan secara lisan. 
 “Kesenian Rampak Bedug pada awalnya hanya terdapat di kaki dan lereng Gunung Karang yaitu misalnya dari Kecamatan Cadasari, Kecamatan Pandeglang, dan Kecamatan Kaduhejo, dan Kesenian Rampak Bedug berawal dari Ngadu Bedug” (Menurut Maman Badar Zaman, Tokoh Seni Rampaak Bedug). Ngadu Bedug adalah memukul Bedug oleh sekelompok masyarakat kampung yang satu, dengan kampung lain, yang bertujuan untuk memperlihatkan dan mendengarkan keterampilan menabuh bedug, dengan motif dan tabuh yang bervariatif, sesuai dengan kebiasaan dan kreatifitas warganya. Alat  kesenian Rampak Bedug  yang utama  yaitu Bedug.  Menurut  Subdin Kebudayaan   Dinas Pendidikan  Provinsi Banten, “ Bedug  adalah alat yang dipergunakan untuk menunjukkan shalat lima waktu, bedug ditabuh sebelum dikumandangkan adzan”. Begitu pula yang diungkapkan oleh H. Illen menyatakan sebagai berikut. 
”Bedug  berawal dari bedug-bedug yang berada di masjid yang digunakan ketika menjelang shalat  kemudian menyambut bulan puasa. Selain itu, fungsi Bedug pada zaman dulu digunakan sebagai pertanda adanya orang meninggal. Masyarakat setempat mengetahui kode yang digunakan saat memukul Bedug, jika pertanda orang meninggal orang tua biasanya bedug ditabuh  sebanyak tujuh kali, sedangkan jika yang meninggal anak–anak bedug ditabuh sebanyak tiga kali.”
Kesenian Rampak Bedug dapat dikatakan sebagai pengembangan dari seni Ngadu Bedug.  Pada tahun 1950-an,  awal mula  Ngadu Bedug dilakukan oleh sekelompok masyarakat kampung satu dengan kampung lain. Dalam Ngadu Bedug  yang  diperlihatkan  antar  kampung yaitu keterampilan menabuh  Bedug, dengan  motif  tabuh  yang  kreatif.  Dengan mengarah bedug ke kampung lain, kelompok satu mengawali dengan suara pertama lagu Nantang. Lagu Nantang  diperdengarkan ke kampung lain, jika kampung lain membalas dengan lagu lainnya kemudian terjadilah saling balas lagu-lagu lain. Jika balasan  suara Bedug kampung satu tidak menjawab, maka kampung tersebut dinyatakan kalah. 
Penilaian dilakukan kelompok kampung satu yang menekankan pada pola Nabuh Bedug.  Setelah acara Ngadu Bedug terkadang berubah menjadi Ngadu Bedog. Ngadu Bedog yaitu berkelahi (Wawancara Maman Badar Zaman). Sekitar tahun 1970-an di Alun-alun Pandeglang  diadakan  perlombaan seni Ngadu Bedug. Pada masa ini Bupati Karna Suwanda mempersilahkan masyarakat untuk mengikuti lomba. Setelah perlombaan, Bupati berinisiatif memasukkan Ngadu Bedug ke dalam seni pertunjukan. Penilaian Ngadu Bedug  34 kelompok yang paling kuat Nabuh Bedug, sehingga jika salah satu kelompok yang lebih dahulu berhenti Nabuh Bedug dinyatakan kalah dalam pertandingan. 
Pada Tahun 1980-an seniman Ngadu Bedug berkreasi untuk menambah tarian ada Ngadu Bedug. Pertunjukan tersebut ditambah dengan adopsi dari gerak silat. Akan tetapi gerak silat dan kekompakan Nabuh Bedug  adalah kriteria kreasi yang mulai berkembang pada tahun tersebut. Adapun tahun berikutnya sekitar Tahun 1984-an  mengikuti festival di Jawa Barat, pada tahun ini penyempurnaan gerak dan iringan di perhatikan secara ritme dan tempo dalam permainan musik. Setelah mengikuti festival Ngadu Bedug di kenal dengan nama Rampak Bedug.  Kesenian  Rampak Bedug disajikan dengan bentuk penyajian yang menarik. Kesenian Rampak Bedug yang dikenal di masyarakat berfungsi sebagai penyambutan tamu, pernikahan, hari ulang tahun Kabupaten Pandeglang dan sebagainya. 
Kata “rampak” mengandung arti serempak atau banyak. Jadi,  Rampak  Bedug adalah  Seni Bedug dengan  menggunakan  alat musik berupa bedug dan ditabuh secara serempak sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Permainan Rampak Bedug mengutamakan kekompakan menabuh Bedug dan kekompakan gerak. Peralatan yang digunakan  Kesenian Rampak Bedug yaitu Bedug  Gebrag (bedug besar), Dolongdong, Tilingtit, Anting, Kerep, Anting Carang, dan Antuk. Adapun tabuhan yang dibawakan  berasal dari alam, seperti  tumbuhan, hewan, dan  keadaan  yang mengisahkan  keberadaan  masyarakat yang  berada di kaki dan lereng Gunung Karang, lagu tabuhan contohnya Tonggeret, Pingping Cakcak Nantang, Celementre, Kekeretaan, Gibrig Tuma  dan Angin-anginan (Wawancara Maman Badar Zaman)
Sesuai dengan  perkembangan  zaman, Kesenian  Rampak  Bedug  pada akhirnya mengalami penyempurnaan, di antaranya kekompakan Nabuh bedug, gerak  yang  serempak dan diadopsi dari gerak-gerak silat, desain lantai, musik, tata busana, tata rias, tempat pertunjukan dan properti yang menyesuaikan tempat pertunjukan yaitu dalam ruangan dan di luar ruangan.

24 Desember 2016

#30DWC Jilid 3 hari ke 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Drama: The Item, Drama Supranatural yang Bikin Mikir Keras!

Anyeonghaseyo yeorobun! Kali ini aku mau ngereview salah satu drama Korea yang baru aja selesai aku tonton. Btw drama ini baru aja tamat mi...