Jumat, 23 Desember 2016

Angklung, Aset Budaya Bangsa yang diakui Dunia


Angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan cara digetarkan. Suara yang dihasilkan adalah efek dari benturan tabung-tabung bambu yang menyusun instrumen tersebut. Instrumen ini digolongkan ke dalam jenis idiofon atau alat music yang sumber bunyinya berasal dari bahan dasarnya. Angklung umumnya dikenal berasal dari daerah Jawa Barat.
Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di tanah Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Di era Hindu, pada era Kerajaan Sunda, Angklung menjadi instrumen penting dalam berbagai perayaan, terutama yang berkenaan dengan ritus bercocok-tanam, khususnya padi. Di lingkungan Kerajaan Sunda, tercatat sejak abad ke-7, Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan), agar Dia melimpahkan berkahnya atas tanaman dan kehidupan masyarakat. Tidak hanya sebagai media penyembahan terhadap dewa-dewi, pada zaman Kerajaan Sunda, Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, termasuk dalam Perang Bubat, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.
Namun angklung juga sempat di klaim oleh Malaysia sebagai miliknya. Dalam situs www.musicmall_asia.com disebutkan bahwa angklung berasal dari Malaysia tepatnya berada di kota Johor. Musik angklung merupakan pengiring kesenian kuda kepang. Klaim angklung budaya Malaysia juga dituangkan dalam situs www.malaysiana.pnm.my. Disebutkan angklung adalah salah satu warisan budaya Malaysia. Di situs ini pengunjung dijelaskan tentang bahan dasar angklung, fungsi, dan cara bermainnya. Diperlihatkan pula foto-foto angklung. Suara angklung juga bisa didengar dengan mengklik gambar speaker yang ada di laman tersebut. 
Pada 1938, Daeng Soetigna, warga Bandung, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada trradisional pelog atau salendro. Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra. Sejak saat itu, Angklung semakin menuai popularitas, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada 18 November 2012, mengakuinya sebagai sebuah warisan dunia yang harus dilestarikan. Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung. Dengan jalan tersebut di harapkan angklung sebagai warisan budaya bangsa Indonesia tidak lagi mendapat klaim dari dari Malaysia maupun Negara lainnya, dan warga Negara Indonesia lebih dapat menghargai dan mempelajari budaya yang dimilikinya.

23 Desember 2016
#30DWC Jilid 3 Hari ke 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Drama: The Item, Drama Supranatural yang Bikin Mikir Keras!

Anyeonghaseyo yeorobun! Kali ini aku mau ngereview salah satu drama Korea yang baru aja selesai aku tonton. Btw drama ini baru aja tamat mi...