Jumat, 10 Februari 2017

(SongFic) We Were In Love

(SongFic) We Were In Love - T Ara Ft Davichi

Note : Sebelum baca di play dulu lagu We Were In Love dari T-Ara Ft Davichi. Lagunya enak banhet. Galau-galau gimana gitu, apalgi liat MV-nya berasa banget sedihnya, menghayati banget pokoknya.
Let's Reading!

- Jika aku harus memilih diantara kamu dan dunia. Bahkan jika semuanya diambil dariku, jika itu kamu tak apa hari atau malam aku haus akan cinta janji tak layakku untuk melupakanmu membuatku menangis lagi, dapatkah kamu mendengarku? Satu hal yang aku inginkan darimu yaitu kamu. Tanpamu, aku tak dapat melakukan apa-apa jika kamu mendengar lagu ini, kumohon kembalilah, kembalilah... -

Detak jam terus berputar. Malam semakin larut namun aku sama sekali tak ada niatan untuk meninggalkan balkon kamarku ini. Aku merapatlan sweater yang semgaja kupakai, mengenyahkan hawa dingin akibat hembusan angin yang semakin menusuk. Namun hal ini sama sekali tak menjadi alasan untukku beranjak. Aku masih ingin disini. Berdiri didepan balkon. Menatap bintang yang satu persatu mulai meninggalkan langit. Membuat malam semakin gelap.

Aku menatap bintang itu nanar. Kenapa semuanya perlahan-lahan menghilang?

Aku menghembuskan nafas lelah. Menatap lurus langit yang menghitam. Sementara itu pikiranku menerawang jauh. Mengingat seseorang yang terus berputar di dalam otakku. Entah sejak kapan.

"Aku rindu kamu Kai," bisikku pelan. Berharap setidaknya angin yang berhembus dapat membawa kalimat tersebut pada Kaisar. Atau bintang-bintang bisa bersinar lebih terang di tempat Kaisar berada. Agar lelaki itu tahu bahwa aku disini sangat amat merindukannya. Selalu.

"Aku juga rindu kamu, Ta."

Aku terdiam mendengar suara yang membalas ucapanku. Kai. Ah, aku memukul kepalaku sendiri. Lalu tersenyum. Ya, Kai selalu bilang saat aku merindukannya, maka katakanlah. Karena dia meski berada dibelahan dunia lain pasti akan tetap mendengarnya dan membalas ucapanku. Seperti sekarang. Meski aku tidak tahu dia ada dimana. Aku dapat mendengar suaranya. Bukan dengan telingaku, tapi dengan hatiku.

"Huft!" kuhembuskan nafas pelan merasakan udara yang semakin dingin. Sepertinya aku memang harus segera masuk ke dalam kamar.

"Krystal!"

Baru beberapa langkah, aku mendengar seruan memanggil namaku. Kaisar. Aku menggelengkan kepalaku sepertinya aku sudah gila. Aku pun berniat melanjutkan langkahku.

"Krystal aku disini!" lagi aku mendengar itu. Sedikit lebih keras dibandingkan tadi. Bagaimana bisa?

Aku berbalik kembali menuju balkon. Dan shit! Kaisar ada disana di bawah balkon kamarku sedang berusaha menaiki memanjat tembok untuk menuju ke tempatku.

"Kai!" pekikku tercekat tanpa suara.

Lelaki itu hanya tersenyum. Aku pun tak tahan untuk tak membalas senyumannya. Hingga akhirnya dia berhasil sampai dihadapanku dengan nafas terengah. Keringat berucur dari dahinya. Rambut hitam legamnya tampak berantakan. Begitu juga dengan penampilan yang tampak lebih kacau dibandingkan biasanya. Sungguh, aku tak tega melihat penampilannya. Hingga lebih memilih untuk menghambur ke dalam pelukannya. Merasakan kehangatan yang selama ini selalu menjadi tempat ternyamanku.

"Aku merindukanmu Kai!" seruku dan lebih mempererat pelukanku padanya. Menyimpan kepalaku di dadanya.

"Kau tahu, aku jauh lebih lebih merindukanmu Krystal!"

Aku tersenyum mendengar balasannya. Terlebih saat suara tegas namun lembut itu mengeja namaku dengan lugas.

Aku mendongakan kepalaku. Menatap wajah tampannya tanpa berniat melepaskan pelukanku. Kai tersenyum. Senyuman menawan seperti biasanya. Ya meskipun ada kantung tebal hitam dibawah matanya dan raut kelelahan. Namun ia tetaplah Kai-ku yang berkharisma. Kutegaskan, lelaki ini Kaisar-ku.

"Bagaimana bisa kau ada disini?" tanyaku menatap mata hitamnya lekat.

"Tentu bisa, karenamu aku bisa melakukan apapun," ucap Kai seraya tersenyum menatapku. Aku tersentuh mendengar ucapannya. Dia selalu bisa membuatku merasa tersanjung.

"Bagaimana jika ketahuan?" tanyaku mengeluarkan ketakutan yang sejak tadi ada diantara rasa senangku. Aku menatapnya khawatir, namun dia tetap tersenyum tenang.

"Tak apa, toh mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu."

Deg!

Aku tertegun mendengar ucapan Kaisar. Senyuman manis yang sejak tadi hadir karena kedatangannya sirna sudah. Aku menatapnya nanar lalu bergerak mundur. Melepaskan diri dari pelukannya. Kaisar menatapku bingung dan penuh tanya.

"Kenapa?"

"Aku benci mendengar kata terakhir dari mulutmu. Bagaimana bisa kau mengucapkannya?" lirihku. Aku menyentuu dadaku. Disana entah dibagian sudut yang mana. Ada sakit yang mendera akibat luka yang semakin menganga lebar.

Kaisar mendekat kepadaku, dan aku bergerak mundur. Begitu seterusnya hingga pada akhirnya. Langkahku terhenti membentur pintu kamar. Aku hanya bisa terdiam saat akhirnya Kaisar menggenggam kedua tanganku. Aku menunduk menghindari tatapan matanya.

"Bukan begitu maksudku. Kau tentu mengerti bagaimana hidup kita sekarang," aku hanya terdiam mendengar setiap penuturan Kaisar. "Kita berbeda."

Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Kaisar menghentakku. Menyadarkanku. Menjatuhkan hingga ke dasar. Tak bertepi. Terhempas jauh dari anganku. Hingga aku harus kembali menghadapi kenyataan yang ada. Kita berbeda. Aku dan Kaisar berbeda.

"Aku tahu," aku mengakui hal tersebut pada akhirnya. "Tapi bukankah seharusnya itu tak berarti apa-apa untuk kita?" ungkapku kemudian. Aku menatap matanya memohon. Berharap ia bisa menepiskan rasa takut akibat perbedaan yang ada.

Kaisar menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Aku mengerti, tapi kau tahukan sebesar apa perbedaan kita?"

Aku tahu. Aku sangat hapal bagaimana perbedaan antara aku dan dirinya. Namun tak bisakah dia tak membahasnya sekarang?

"Kau adalah seorang Puteri sedangkan aku..."

"Kau adalah seorang selebriti begitu bukan?" aku memotong kalimatnya dengan cepat. Menatapnya tajam. Aku tahu Ayah-ku adalah salah satu orang yang berpengaruh di negara-ku ini. Orang yang memiliki kekuasaan yang besar. Keluargaku masuk ke dalam daftar 10 keluarga kaya di Indonesia. Kaisar? Dia seorang selebriti yang namanya sedang naik daun, idola yang banyak diagung-agungkan oleh fansnya. Jadi cukup jelaskan perbedaan kita?

Kaisar menghela nafas pelan, aku tahu kalimatku telah membuatnya kesal namun ia berusaha meredam emosinya.

"Kau tahukan bagaimana Ayahmu memandangku?"

"Kai..."

"Dia sangat membenciku, dia tidak pernah menginginkan aku hadir di dalam hidupmu. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah mengijinkannya."

Aku terdiam membenarkan ucapan Kaisar dalam hati. Mengingat hal itu hanya membuat hatiku terasa sakit. Sesak. Mataku memanas.

"Tapi aku mencintaimu," kalimat itu lolos dari mulutku bersamaan dengan bulir air mata yang mulai jatuh.

Kaisar menyentuh daguku. Mengangkat wajahku. Lalu tangan halusnya menyapu air mataku.

"Aku juga sangat mencintaimu, jadi jangan menangis," ucapnya lembut. Namun tak cukup untuk menghentikan tangisku.

"Lalu bagaimana bisa kau berpikir ini pertemuan terakhir kita? Bagaimana bisa kau berniat meninggalkanku?" aku menatapnya nanar menuntut jawaban.

Kaisar menggelengkan kepalanya. Aku melihat matanya yang sendu. "Kau tidak salah? Bukankah kqu yang akan meninggalkanku?"

Lagi. Kaisar berhasil membuat hatiku tertusuk. Kalimatnya, pandangannya membuat rasa bersalah menjalar dalam hatiku. Ia benar bagaimana bisa aku menghakiminya sementara akulah orang yang akan meninggalkannya? Tidak, aku tidak pernah berniat sedikit untuk pergi dari hidupnya. Ayahlah yang menagatur segalanya. Dengan alasan pendidikan Ayah akan mengirimku ke luar negeri. Meskipun aku tahu benar alasan sebenarnya bukan itu. Melainkan hubunganku dengan Kaisar.

"Kai..."

"Sudahlah tidak apa-apa. Aku sudah disini sekarang. Aku hanya ingin disini bersamamu, karena aku tidak pernah tahu kapan kita akan bertemu lagi."

"Aku tidak ingin berpisah denganmu Kai, tetaplah bersamaku. Kita bisa menjalaninya, kita bisa melewati semua ini," ucapku berusaha meyakinkannya juga meyakinkan diriku sendiri. Kami bisa, begitu seharusnya. "Kita bisa pergi sekarang!" seruku kemudian seraya bergegas menarik tangannya. Namun Kaisar tetap diam.

"Ayo!" aku menatapnya sambil mengangguk pasti.

Kaisar menggelengkan kepalanya. "Jangan pernah berpikir untuk melarikan diri bersamaku," ucapnya. Aku menatapnya bingung sekaligus tak terima.

"Kai, ini demi hubungan kita," tegasku.

"Krystal mengertilah, akan ada banyak orang yang terluka jika kita memaksakan hubungan ini tetap berjalan," Kaisar menatapku lekat.

Aku benci mendengar kalimatnya.

"Apa maksudmu? Kau mengkhawatirkan fans-fansmu itu?" tanyaku ketus. Aku menatapnya sinis. Entah bagaimana pikiran itu tiba-tiba saja terlintas diotakku.

"Bukan..."

"Jangan berbohong Kai!"

"Aku tidak berbohong, tapi mungkin kuakui aku sedikit nengkhawatirkan mereka. Tapi ini lebih dari itu. Ini lebih tentangmu kau berasal dari keluarga terpandang, keluargamu menginginkan kau tentu bersama dengan orang yang tepat yang sama dengan dirimu. Bukan aku lelaki biasa yang mendapat keberuntungan dalam dunia hiburan. Bukan hanya keluargamu, ini juga tentang orang-orang di luar sana yang juga sangat menyayangimu. Tapi aku? Kau tahukan fansku kebanyakan hanya remaja selebihnya mereka memandang profesi yang kujalani sebelah mata. Jika kita bersama maka akan ada banyak orang yang merasa kecewa, ada banyak hati yang terluka."

Aku terdiam. Mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang keluar dari mulut Kaisar. Menyadari bahwa semua yang dikatakannya memang benar adanya. Tapi tetap saja, kepasrahan yang ia utarakan membuat hatiku terasa ngilu. Aku merasa Kaisar telalu pasrah, terlalu takut dan itu sangat mengecewakanku.

"Kai, ini tentang kita. Tentang kau dan aku. Bukan tentang mereka. Kita yang menjalani segalanya, mereka hanya pihak ke tiga yang memandang hubungan kita dengan sebelah mata. Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi aku meyakinkanmu bahwa kita bisa menghadapi semua ini bersama. Bukan menyerah pada keadaan. Sekalipun dunia menolak hubungan ini hatiku mengatakan bahwa aku hanya mencintaimu bahwa semuanya akan baik-baik saja saat aku bersamamu. Tapi melihatmu malam ini, mendengar segala keresahanmu aku menjadi bingung sendiri. Bagaimana bisa aku memperjuangkan hubungan kita sementara kau tak pernah berniat untuk memperjuangkannya," ucapku panjang lebar.

Aku menjauh, melepaskan genggaman tangannya. Sungguh hatiku sakit. Jika sebelumnya pada dunia yang menolak kami. Maka kini lebih pada Kaisar. Aku kecewa dengan segala sikap pasrah yang dimilikinya. Aku benci mendengar ia dengan begitu mudahnya menyerah pada keadaan. Aku kesal mengetahui bahwa ia tak ingin memperjuangkan hubungan ini. Sungguh aku tak pernah masalah dengan semua rintangan yang ada untuk hubunganku dengannya. Aku tidak pernah takut dan tidak pernah peduli dengan pandangan orang lain. Tapi Kaisar? Bagaimana bisa aku tidak peduli terhadapnya, sementara dialah orang yang paling berpengaruh atas hubungan ini. Dan saat ia menyerah apalagi yang bisa kupertahankan?

"Pergilah, semuanya sudah cukup."

Aku menyerah. Padanya. Pada hubungan ini. Pada segalanya.

"Krystal ayolah bukan ini yang aku mau."

Kaisar berusaha menahanku namun aku sudah terlanjur kecewa. Bukankah ini yang sejak tadi dia inginkan? Lalu untung apa dia datang kesini, mengatakan segalanya dan saat aku menyerah ia malah menahanku?

"Lalu apa yang kau mau? Menghabiskan malam terakhir bersamaku menciptakan sebuah kenangan yang pada akhirnya hanya akan membuat semuanya terasa berat, begitu?" aku menatapnya nanar. Menantangnya.

Kaisar terdiam.

"Pergilah, kenangan kita sudah terlalu banyak aku tidak berniat untuk menambahnya pada akhirnya jika kita benar-benar berpisah, itu hanya akan menjadi beban bukan? Jadi berhenti Kai, akhiri segalanya disini."

Aku membuka pintu kamarku. Perlahan berjalan masuk. Kaisar? Lelaki itu hanya diam. Tak berniat untuk menghentikanku. Membuat rasa sakit dalam hatiku semakin dalam. Dengan hentakan yang cukup kasar aku menutup pintu kamarku. Aku diam bersandar pada pintu. Berharap setidaknya mendengar Kaisar memanggil namaku. Namun hingga beberapa menit tak ada suara yang terdengar. Hingga akhirnya aku mendapati derap langkah yang menjauh.

Tubuhku lemas seketika. Aku tak mampu lagi menahan beban tubuhku sendiri. Tubuhku luruh. Terjatuh ke lantai. Air mata yang sejak tadi ku tahan kini jatuh satu persatu. Aku rapuh. Aku ambruk. Aku hancur.

Kaisar satu-satunya orang yang kuharapkan saat ini. Tapi apa yang ku dapatkan, dia malah pergi meninggalkanku. Tanpanya aku tak dapat melakukan apa-apa. Aku telah kehilangannya. Lelaki yang sangat kucintai. Aku hanya bisa terisak, merasakan dunia begitu kejam kepadaku. 

Kai, aku mohon kembalilah.

***

#30DWC JILID 4 HARI KE 10

1 komentar:

  1. Ternyata songfic kayak gini._. Aku baru tau nis wkwk bagus ceritanya.. Itu beberapa typom nis.. Semangat!^^

    BalasHapus

Review Drama: The Item, Drama Supranatural yang Bikin Mikir Keras!

Anyeonghaseyo yeorobun! Kali ini aku mau ngereview salah satu drama Korea yang baru aja selesai aku tonton. Btw drama ini baru aja tamat mi...