Note : Jangan lupa play All I Ask-nya Adele yah, btw untuk yang bingung bisa baca part 1nya dulu, ini linknya https://penangkapmimpi16.blogspot.co.id/2017/02/songfic-all-i-ask-part-1.html
Selamat membaca!
I don’t need your honesty
Its already in your eyes and I’m sure my
eyes, they spek for me
“Putus?
Maksud kamu apa sih Na? Kita baru aja pacaran seminggu. Apa aku punya salah?”
tanya Genta bingung. Ia memegang bahu Nana lalu menatap mata gadis itu lekat.
Nana menggelengkan kepalanya pelan
lalu tersenyum. “Makanya itu kak selagi masih seminggu, kita berdua yang salah
disini.”
“Maksud kamu Na? Aku enggak ngerti,”
Genta menghela nafas lelah. Sungguh seharusnya hari ini berjalan dengan indah,
bukan berakhir dengan kata putus.
“Kita berdua salah karena sudah
memaksakan sesuatu yang enggak seharusnya. Aku terlalu percaya diri kalau aku
bisa mengisi bagian ini, padahal nyatanya enggak pernah bisa,” Nana menyentuh
dada Genta pelan. “Bukan aku yang ada disana. Dan kakak jelas salah berusaha
mencintai seseorang padahal hati kakak sudah sepenuhnya untuk orang lain,
lantas kakak mau mencintai aku dengan apa?”
“Na, oh ayolah,” Genta mengusap
wajahnya gusar. “Kamu marah karena aku angkat telepon Tita tadi?”
Lagi Nana menggelengkan kepalanya. “Bukan
itu, Kak. Sekarang aku mau tanya sama kakak. Siapa orang yang ada di hati
Kakak?”
Genta terdiam. Ia sempat membuka
mulutnya dan ingin menyebutkan nama Nana, namun mendadak mulutnya terasa kelu. Jelas,
hanya ia sendiri yang tahu apa yang ada dalam isi hatinya. Tapi sialnya ia
tidak dapat mengatakan apapun sekarang.
Nana tersenyum, “aku udah dapet
jawabannya. Kak Tita bukan?” tebak Nana sesuai sasaran. Genta hanya bisa diam
menatap Nana sendu.
No one knows me like you do
And since you’re the only one that matters,
tell who do I run to?
“Sampai kapan berkedok menjadi
sahabat yang baik buat kak Tita? Padahal kakak tahu kan kakak bisa lebih dari
itu?” tanya Nana.
Genta menatap Nana takjub, gadis itu
mengatakan hal tersebut seolah itu tidak akan menyakiti perasaannya. “Gimana
bisa kamu tahu?”
Nana tertawa pelan, “hanya orang
bodoh yang enggak tahu kalau kakak cinta berat sama kak Tita, I mean kak Tita
was stupid!” serunya sambil terkekeh pelan.
“Tapi Na…”
“Tapi apa? Kakak pacar aku?” tanya
Nana. “Aku udah mutusin kakak beberapa menit lalu, jadi aku rasa kakak pantas
disebut jomblo bukan?”
“Bukan itu Na…”
“Jangan khawatirin aku, aku
baik-baik aja. I’m okey right? Yang enggak baik tuh kalau kita tetap menjalani
hubungan padahal kita tahu enggak ada cinta disana,” Nana memberikan penekanan
pada kata cinta yang barusan saja ia ucapkan.
Genta menggelengkan kepalanya, “kamu
cinta aku, dan itu cukup untuk segalanya.”
Nana mendengus, “tapi kakak enggak
cinta aku,” tukas Nana.
“Aku sedang berusaha.”
“Berusaha apa? Mencintaiku atau
mengalihkan cinta kakak dari kak Tita?” cibir Nana. “Kakak pengecut, kakak
melepaskan padahal belum pernah berjuang.”
Genta terdiam, lalu menundukan
kepalanya, “aku cuma enggak mau merusak persahabatan aku dan Tita,” ujarnya. Terdengar
klise bukan?
“Bodoh! Apa salahnya coba? Toh aku
pikir kak Tita juga cinta sama kakak, cuma bedanya kakak udah lebih dulu
menyadari dan dia belum,” jelas Nana dengan tenang. “Jadi sebelum semuanya
terlambat cepet ungkapin, percuma kalau kakak cuma diam kakak enggak pernah dapet
jawabannya, jadi ayo kita pulang dan setelah itu kakak harus langsung ungkapin
semuanya!” seru Nana sambil bangkit berdiri senyuman manis senantiasa
mengembang dibibirnya.
Genta menatapnya, lalu memeluk gadis
itu erat.
“Terima kasih untuk segalanya,
terima kasih udah mau tetep ada disamping aku dalam keadaan apapun, terima
kasih untuk selalu menjadi orang yang mengerti segalanya. Thank you so much Na!”
bisik Genta pelan.
Nana terdiam hatinya mencelos. So damn!
Ia telah berhasil meyakinkan Genta untuk memperjuangkan cintanya, sementara ia
baru saja membiarkan dirinya berhenti berjuang.
“Ofcourse, always,” balas Nana
pelan. Sambil menghapus bulir air mata yang tanpa sadar jatuh membasahi
wajahnya.
Genta melepaskan pelukannya lalu. Menatap
Nana dan tersenyum.
“Tetap jadi adik gue yang baik yah!”
serunya seraya mengacak rambut Nana pelan.
Nana merengut meski akhirnya tertawa
pelan, “udah ah yuk balik!” serunya. Kata ‘adik’ dan ‘gue’ sudah cukup untuk
menjelaskan bahwa hubungan mereka telah benar-benar berakhir.
Let this be our lesson in love
Let this be the way we remember us
I don’t wanna be cruel or vicious
And I ain’t asking for forgiveness
Nana
memeluk Genta. Menyimpan kepalanya di punggung lelaki itu. Menghirup aroma yang
akan ia simpan di dalam ingatannya, aroma menenangkan milik Genta. Menghirupnya
dalam-dalam karena setelah ini ia tahu ia tak mungkin bisa untuk melakukan hal
ini lagi.
Jadi untuk malam ini biarkan
keegoisannya muncul sekali lagi. Ia hanya ingin memeluk Genta seolah lelaki itu
adalah miliknya sepenuhnya. Ia hanya ingin menikmati waktu-waktu terakhir
bersama Genta, orang yang sangat dicintainya.
“Na…”
“Hmm?” balas Nana pelan saat ia
mendengar Genta memanggil namanya.
“Menurut lo gue harus gimana ngomong
sama Titanya?”
“Yah, tinggal ngomong aja,” jawab
Nana.
“Elah ngomong mah gampang prakteknya
yang susah, yang ada gue malah gugup ntar,” ujar Genta.
Nana menghela nafas pelan, “ungkapin
semuanya. Dari awal kebersamaan kalian sampe rasa itu tumbuh dan akhirnya lo
enggak bisa menahannya lagi. Kuncinya, jujur sama perasaan lo sendiri!” seru
Nana.
Genta mendecak kagum sesaat, “wah lo
bikin gue nyesel udah putus sama lo!” cetusnya sebelum akhirnya terbahak karena
merasakan Nana mencubit perutnya, membuat motor yang dibawanya sempat goyang.
“What the fuck yah kak!” cetusnya
dan Genta hanya terbahak. Hingga akhirnya tak berapa lama ia pun sampai di
depan rumah Nana. “Sudah sampai Tuan Puteri!” serunya.
Nana mengangkat kepalanya dari
punggung menatap rumah yang sudah berada di depannya. Sialnya tubuhnya terasa
kaku, seolah tak menginginkan untuk turun dari motor Genta.
“Naa…”
“Ah iya,” ucap Nana yang tersadar
gadis itu pun turun dari motor Genta.
Untuk beberapa saat Genta hanya
terdiam dan menatap Nana dengan lekat.
“Makasih Na,” ucapnya. Kali ini
sangat tulus dari hatinya. Nana gadis yang sangat baik dan ia tidak tahu ia
tidak pernah salah dalam memilih Nana, yang salah adalah Nana karena telah
memilih orang brengsek sepertinya. Genta tahu, meskipun Nana tersenyum dan
seolah santai ia tahu gadis itu pasti tengah menyimpan begitu banyak luka
akibat tingkahnya dan sialnya ia bukanlah orang yang dapat menyembuhkan
luka-luka itu. Karena pada akhirnya jika ia terus membiarkan dirinya berada di
dekat Nana ia hanya akan semakin membuat gadis itu terluka. Ya, dalam dan
semakin dalam.
Nana hanya menganggukan kepalanya. Entah
mengapa keyakinan yang sempat tumbuh saat ia akan melepaskan Genta tadi hilang
begitu saja. Kini ia ingin Genta ada disini bersamanya. Lo enggak boleh egois Na! Nana mengumpat dirinya sendiri dalam
hati.
Gadis itu akhirnya memberanikan diri
untuk mendekat pada Genta.
“Kak boleh gue peluk lo? Untuk terakhir
kalinya please…” ucap Nana lirih.
Genta turun dari motornya dan
berucap, “lo ini kaya sama siapa aja,” katanya sambil mendekap Nana ke dalam
pelukannya. Nana mengeratkan pelukannya. Ia janji ini terakhir kalinya ia
memeluk Genta meskipun tanpa ia sadari pelukan Genta telah menjadi candu untuk
dirinya.
Bersamaan dengan itu dalam pelukan
Genta airmata yang sejak tadi di tahannya meluncur dengan bebas. Sesak yang
sejak tadi ditahannya tak dapat lagi ia sembunyikan. Gadis itu mengunci
rapat-rapat mulutnya mencoba meredam isakan yang terus keluar, namun sialnya
isakan it uterus terdengar dan berhasil menarik perhatian Genta.
“Na lo nangis?” tanya Genta
khawatir.
Nana menggelengkan kepalanya dengan
cepat. Ia tak membiarkan Genta melepaskan pelukannya. Gadis itu menurunkan kaca
helm yang untungnya masih ia pakai.
“Na ayolah gue tahu lo nangis,”
tegur Genta.
“Gue enggak apa-apa,” ucap Nana
sambil melepaskan diri dari pelukan. “Sana gih buru kak Tita udah nungguin lo!”
Nana mendorong tubuh Genta pelan.
Genta menatapnya bingung, “tapi Na…”
“Apa lagi sih kak? Lo masih butuh
pelajaran dari gue?” tanya Nana masih menyembunyikan wajah dibalik helmnya.
“Bukan gitu Na. Lo baik-baik aja
kan?” tanya Genta.
“Gue sangat amat baik-baik aja, udah
ah sana!” seru Nana lagi-lagi mengusir Genta.
Genta pun menyerah dan berjalan
menuju motornya namun lagi-lagi ia menghentikan langkahnya.
“Apa lagi?” tanya Nana geram.
“Helmnya Na,” ucap Genta.
Nana terdiam. Ia menyentuh helm yang
masih ada di kepalanya. Menutupi wajahnya yang saat ini sudah sembab karena
tangis.
“Jangan pelit deh kak, enggak
apa-apa kan kalau helm ini buat gue? Itung-itung kenangan dari pacar seminggu,”
ujar Nana masih berusaha untuk ceria.
Genta terdiam beberapa saat meskipun
akhirnya mengangguk menyetujui. Meskipun ia heran juga melihat Nana yang
menurunkan kaca helm menutupi wajahnya.
“Yaudah gue pergi dulu yah, doain
gue!” seru Genta mulai menstarter motornya.
“Good luck!” seru Nana.
“Lo juga semoga cepet dapet orang
yang baik!” balas Genta.
Dibalik helm Nana tersenyum lalu
mengangguk, “hati-hati!” ujarnya melepaskan Genta yang mulai melajukan
motornya. Meninggalkannya.
All
I Ask is
If
this is my last night with you
Hold
me like I’m more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers
do
It matters how this ends
Cause what if I nevel love again?
Tepat setelah itu, pertahanan Nana
runtuhlah sudah. Ia tak dapat lagi menyembunyikan tangisnya dan berpura-pura
kuat. Ia lemah. Ia rapuh. Ia remuk. Dan ia hancur. Gadis itu bahkan sudah tak
dapat menahan beban tubuhnya sendiri dan berakhir terjatuh di atas aspal. Jatuh
sejatuh jatuhnya.
Melepaskan Genta sama saja dengan
melepaskan harapan dalam hidupnya. Dan ia telah melakukannya. Membuat hidupnya
mati tanpa harapan.
Namun ia telah menyerah. Ia telah
memutuskan untuk berhenti. Mengakhiri cintanya pada Genta. Menyerah sepenuhnya
atas lelaki itu.
Nana telah melepaskan Genta untuk
pergi. Selama ini ia jelas tahu bahwa ia hanya menjadi pelabuhan saja, tempat
persinggahan sementara bagi Genta, Sekarang ia telah membiarkan Genta pergi
kepada orang yang ia anggap sebagai rumah.
_END_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar